Arak-arakan orang berpakain adat mengular sepanjang jalan. Raja dan ratu sehari berjalan dibawah payung diiringi pria dan wanita yang berhias rupawan di barisan masing-masing. Kelompok musik tetabuhan ikut menyertai rombongan di belakang. Mereka hendak mengantarkan sepasang pengantin ke rumah mempelai wanita.
Masyarakat sekitar lingkungan
tempat tinggal pengantin wanita biasanya akan mengerubuti iring-iringan ini
dari tepi jalan. Ada yang penasaran dengan rupa pengantin pria yang beruntung
mendapatkan sahabatnya atau “bunga desa” umpamanya, para muda-mudi yang ingin
melihat sesama muda-mudi dari desa lain, atau pun sekedar ingin menikmati
hiburan yang mengiringi rombongan. Semua itu sudah menjadi tradisi yang melekat
dalam adat nyongkolan masyarakat Sasak.
Acara semacam ini akan sering kita
jumpai di jalan-jalan pulau Lombok terutama di akhir pekan. Mereka menyebutnya nyongkolan.
Acara mengarak sepasang pengantin dalam prosesi pernikahan suku Sasak Lombok.
Tujuannya adalah memperkenalkan pasangan yang telah sah agar masyarakat tidak
menaruh curiga jika melihat dua sejoli ini jalan berduaan.
Suguhan budaya yang menarik. Namun,
kadang-kadang ada beberpa fenomena yang membuat tidak nyaman dalam
berlangsungnya tradisi ini. Kurangnya antisipasi pengaturan lalulintaas pada jalan
yang dilalui rombongan kerap menimbulkan kemacetan. Hal lainnya yaitu di
barisan paling belakang, tempat grup musik pengiring berada. Musik modern seperti
kecimol atau ale-ale dengan perpaduan dangdut dan musik tradisionalnya, sering
memberikan pemandangan yang kurang layak dari penampilan dan aksi penari wanita
yang katanya kurang mencerminkan keluhuran budaya. Pemuda yang ikut riuh berjoget
sampai-sampai merusak barisan tidak jarang menimbulkan kegaduhan. Hal itu
diperparah jika orang tersebut sudah dikuasai minuman beralkohol yang
ditenggaknya.
Itulah beberapa kejadian di balik
tradisi nyongkolan akhir-akhir ini yang menjadi bahan perbincangan di forum-forum
social media. Sudah ada beberapa poin yang dikemukakan untuk mengatasi masalah
ini. Di antaranya untuk menghindari kemacetan, pengaturan jarak tempuh
iring-iringan dari rumah mempelai wanita agar jarak tidak terlalu jauh. Selain
itu iring-iringan hanya menggunakan satu sisi jalan dan menggunakan petugas
pengatur lalu lintas. Seorang pemerhati budaya Sasak, H Lalu Anggawa Nuraksim,
yang dikutip pada portal berita kicknews.today berpendapat tentang adab ketika
melewati masjid atau iringan jenazah yaitu dengan menghentikan tetabuhan untuk
sementara. Selanjutnya adalah pengaturan kesenian pengiring. Bagian terakhir
ini yang kerap memunculkan perdebatan.
Beberapa waktu lalu muncul draft
perda yang mengandung poin pelarangan menggunakan jenis kesenian modern seperti
kecimol atau ale-ale. Alasannya karena sering terjadi keributan jika memakai
kesenian ini. Pihak yang kurang setuju pada bagian ini beralasan peraturan
seperti itu mematikan kreatifitas. Selain itu dikhawatirkan menghambat sumber
penghasilan para pemain musik.
Berbagai usulan tersebut patut
diperhatikan. Pemerintah yang telah mendengar aspirasi dan menuangkannya dalam
draft perda juga perlu diapresiasi. Mengenai poin jenis musik pengiring, agakanya
perlu didiskusikan kembali. Jika ingin mempetahankan musik modern ini, perlu juga
pengaturan batasan-batasan dalam pementasannya. Penari wanita bisa menjadi
pemicu yang menggoda para pemuda untuk melakukan aksi-aksi yang kita sebut
nakal. Ditambah lagi dengan pakaian dan aksi yang kurang layak jika dilihat masyarakat. Wajar jika ada
masyarakat yang merasa risih dengannya. Hal yang membuat masyarakat terganggu
ini selayaknya harus dihindari. Yang paling penting adalah bagaimana menjaga
agar semua peserta nyongkolan tidak ada yang mengkonsumsi barang yang
memabukkan. Tetua atau tokoh adat harus bertindak cepat mencegah mereka untuk memasuki
iring-iringan. Mereka sebaiknya diamankan ditempat tertentu untuk menghindari
terjadinya keributan karena orang dengan kondisi mabuk lebih rentan melakukan
tindakan bodoh yang menyulut keributan.
Perkembangan yang terjadi dengan cepatnya
arus petukaran informasi menyebabkan interaksi antar budaya yang saling
mempengaruhi. Budaya sebagai buah kreasi manusia yang tidak sempurna bisa jadi
juga memiliki sisi negatif. Tugas para tetua, tokoh agama, budaya, pemerintah
serta masyarakat untuk sama-sama berdiskusi memfilter budaya-budaya yang mau
tidak mau kita harus bersinggungan dengannya. Semoga perda tersebut segera
terbentuk dengan memperhatikan semua elemen dan segera tersosialisasikan sampai
ke tingkat bawah, RT/RW dan semua masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar