TITIPAN

By I'am Thiyaz

Dia menemui bapak minta ditemani menjemput anak istri yang dititipkan ke Mertuanya. Hampir setahun Pak Agus pergi dan tak pernah berkabar. Kini muncul dengan membawa beberapa bungkus roti yang besar-besar.
***


Aku tak tahu waktu pertama kali keluarga Pak Agus datang. Aku baru masuk SMA di kota kabupaten dan tinggal di kos. Ketika pulang kampung minggu itu, keluarga ini sudah menempati rumah panggung di lahan tepi sawah sebelah barat desa. Sebenarnya bangunan tersebut adalah lumbung padi yang dibeli bapak dari sepupunya. Oleh bapak diubah menjadi balai-balai untuk bersantai menikmati suasana pedesaan ketika penat dari kegiatan sehari-hari.
Ukurannya cukup besar jika digunakan untuk duduk-duduk.  Untuk tidur-tiduran juga muat. Sekitar dua kali empat meter, punya enam kaki yang tingginya sekitar satu setengah meter. Masing-masing kaki berdiri di atas batu pipih yang cukup besar agar tak tertelan oleh tanah liat di bawahnya. Dindingnya terbuat dari papan kayu hanya sampai setengah badan. Tetapi, semenjak ditempati keluarga ini, setengahnya lagi diberikan dinding pagar dari anyaman bambu dan dibuatkan sebuah jendela di sisi baratnya. Dari jendela akan tampak perbukitan dan gunung-gunung.
Kami menaikinya menggunakan tangga pendek yang terbuat dari batang bambu. Dua adikku yang masih kecil pernah hampir terjatuh ketika naik karena tangganya bergeser. Untung aku masih di bawah dan bisa menjaganya. Esoknya bapak meminta paman untuk membuatkan tangga undakan dari batang pohon turi. Tangganya dipaku permanen sehingga tak bisa bergeser lagi. Kami tak pernah menginjak lantainya lagi semenjak ada keluarga Pak Agus di sana.
Suami istri ini bertemu di perantauan di Sumbawa, saling menaruh hati dan menikah di sana. Aku tak tahu pasti kenapa mereka pindah ke Lombok. Mungkin keadaan di rantauan tak kunjung lebih baik. Namun, mereka bahagia dikaruniai seorang anak laki-laki, Alus. Berkah tanah rantau, kata mereka. Usianya sekitar tiga tahun.
Aku sering bertanya-tanya kenapa mereka mau tinggal di tempat ini, gubuk di tengah sawah?
Istrinya kan orang Lombok, kenapa tak tinggal di rumah keluarga istrinya? pertanyaan ini pernah ku lontarkan pada bapak.
Mungkin Pak Agus sungkan harus menumpang seatap dengan keluarga mertuanya. Keluarga Istrinya tinggal di pinggir hutan sana.  Sepi. Pekerjaan apa yang bisa dilakukan di sana? Kalau di sini kan kota kecamatan, penduduknya ramai, jadi masih memungkinkan untuk membuka usaha kecil-kecilan. Rencananya dia ingin berjualan bakso keliling. Begitulah jawaban yang ku dapat.
Bapak senang saja menerima kedatangan mereka. Sepetak tanah yang masih sepi tanaman ini sekarang telah diisi bermacam buah-buahan. Sebelumnya memang ada pohon pisang. Tetapi buahnya sering hilang. Padahal tak pernah sekali pun ditemukan monyet berkeliaran di sana. Sekarang ada yang menjaga, jadi kami sering menikmati buah-buahan dari pohon yang kami tanam senidiri.
Pak Agus jadi berjualan bakso keliling. Bapak juga ikut membantu modal untuk membuat gerobaknya. Dia berjualan dari sore sampai malam hingga dagangannya habis. Beberapa bulan Jualannya laku. Selanjutnya pendapatannya menurun. Hujan dari langit adalah pelumas untuk dompet para petani. Penduduk desa menggantungkan pendapatan mereka dari pertanian. Memasuki musim kemarau dompet orang-orang seret mengeluarkan uang. Kondisi seperti ini terpaksa menghentikan putaran roda gerobaknya. Pak Agus memutuskan pergi ke Jawa untuk mencari pekerjaan. Anak istrinya dititipkan ke mertuanya sementara dia mencari pijakan yang mantap di tanah Jawa. Setelah mendapatkan pekerjaan dia berencana memboyong keluarganya ke Jawa.
Waktu luang yang panjang membuat beberapa orang dijangkiti penyakit bibir plus. Mereka mulai bergosip. Sampai-sampai mereka berani menaruh prasangka.
Saya yakin, Pak Agus gak bakal kembali menjemput istrinya.
Mendengar omongan orang ini, bapak menanggapi dengan senyum. Mana mungkin ada orang yang tega menelantarkan anak istrinya.
***
Setelah tiga bulan lebih pamitan, saya mengira Pak Agus benar-benar akan menghilang seperti yang disangkakan orang-orang. Ternyata dia menghubungi bapak lewat HP ingin menitipkan uang kepada keluarganya. Dia mengirimkannya lewat POS. Bapak mengambil uang tersebut dan mengajakku mengantarkannya. Rumah keluarganya terletak di sebuah desa balik bukit-bukit sebelah barat sana. Satu desa dengan teman MTs ku dulu. Temanku itu sekolah ke desaku dan tinggal bersama keluarga teman ayahnya.
Satu-satunya jembatan untuk melewati desa tersebut rusak. Penduduk di sekitar sana menyarankan untuk mengambil rute memutar melewati bukit-bukit sebelah selatan. Motor yang kami naiki lumayan perkasa untuk ukuran umurnya yang mulai memasuki usia tua. Terk yang kami lewati berupa jalan setapak berdebu. Ada jurang tidak dalam di satu dua titik. Pohon-pohon kehilangan daun dan banyak ranting berserakan di bawahnya. Terlihat beberapa ekor monyet tampak terheran-heran melihat kehadiran kami.
Tempat ini bisa dibilang pelosok. Bagian paling ujung dari daerah kabupaten. Kalau dilihat dari peta Lombok, daerah ini sudah masuk ke bagian ekor pulau. Kami menemukan beberapa buah rumah yang jaraknya berjauhan. Kami berhenti di sana untuk menanyakan jalan. Setelah meliuk-liukkan motor di sela-sela bukit akhirnya kami menemukan desanya.
Beberapa perempuan sedang mengambil air di sebuah sumur. Kami menghampiri mereka dan bertanya letak rumah Diyah, anaknya pak Akim. Mereka menunjukkan sebuah bukit kecil. Rumahnya sudah terlihat dari bawah. Tinggal mengikuti jalan setapak kecil menaiki bukit tersebut. Motor mulai menjerit, memekik keras-keras menaiki bukit. Tak tega, aku turun dari motor dan mendorong hingga ke atas.
Memasuki pekarangan rumahnya, kami melihat Diyah sedang menyuapi anaknya yang paling kecil. Umurnya sekitar lima bulan ketika ayahnya pergi. Dia dilahirkan di rumah panggung kami. Malam hari tanpa bidan. Diyah melahirkan hanya dibantu oleh suaminya. Pagi-pagi Pak Agus datang mengabarkan bahwa anak mereka telah lahir. Mereka adalah orang baru di desaku. Jarak rumah panggung yang mereka tempati dengan rumah warga sekitar setengah kilometer. Dia tak mempunyai kendaraan untuk membawa istrinya ke puskesmas. Minta pertolongan warga sepertinya sungkan.
Mendengar kabar Pak Agus ibuku hanya bisa menganga. Ibu telah melahirkan lima kali. Tak pernah sekalipun tanpa bantuan bidan. Mungkin terlalu sulit untuk membayangkan acara melahirkan tersebut. Di tengah sawah tentu tak ada listrik. Peralatan apa yang digunakannya membantu persalinan? Gunting, pisau? Apa pisau untuk memotong sayuran itu steril? Untungnya ada sebuah sumur sekitar dua puluh meter dari rumah panggung tersebut. Paling tidak sumur itulah yang masih bisa disyukuri di tengah kondisi tersebut. Bidan didatangkan pagi itu juga untuk memeriksa keadaan anak beranak ini. Beberapa ibu-ibu keluarga Diyah dari desa yang kukunjungi ini juga datang menjenguk. Semuanya sehat. Alhamdulillah, kini tubuh bayi tersebut kelihatannya cukup berisi.
Assalaamualaikum. Kami menyapanya.
 Diyah tampak memandangi kami lekat-lekat sambil menggumam menjawab salam kami Waalaikumussalam. Pak guru? Dia berdiri lalu bertanya mencoba memastikan kehadiran kami di sana.
Iya, kami mau mengantarkan titipan Pak Agus
Dia meminta kami menunggu sebentar lalu tergesa-gesa masuk ke dalam rumah memanggil ayahnya. Aku memperhatikan sekitar. Hanya ada dua rumah berukuran sekitar enam kali empat meter, sebuah berugak-semacam gazebo kecil yang biasa digunakan untuk menerima tamu di depan rumah, dan sebuah kandang sapi di pojok pekarangan. Salah satu rumah itu adalah milik ayahnya. Rumah itu dihuni ayah, ibu, dan seorang  adik gadisnya. Ditambah Diyah dan anak-anaknya, mereka berimpit-impit di dalamnya.
Di luar kandang, Alus sedang menggoda sapi-sapi di dalamnya. Rumput yang panjang dia kibas-kibaskan di mulut hewan-hewan itu. Aku menghampirinya.
(Lus, lagi ngapain?”
Sepertinya anak ini sudah lupa padaku. Dia terbengong-bengong lalu menjawab Ngasih makan sapi)
Sapimu besar-besar, jumlahnya berapa?
Ditanya sepeti itu dia mulai manghitung jumlah sapinya, satu, dua, tiga ,empat, lima. Lima, dia menjulurkan dan membuka telapak tangannya lebar-lebar.
Bapak melambaikan tangan menyuruhnya mendekat lalu memberikan selembar uang lima ribuan padanya.
Diyah dan ayahnya keluar. Kami bersalaman dan dipersilahkan duduk setelah tikar dari anyaman daun pandan digelar. Ayahnya menyuruh diyah membuatkan teh untuk kami. Alus berusaha naik ke atas berugaq dan duduk dipangkuan kakeknya.
Sekarang Alus sudah besar.
Begitulah, pak guru. Dia lincah sekali. Sukanya lari ke sana kemari. Kami sering khawatir, takutnya terguling ke bawah sana. Kakeknya lalu tersenyum sambil mengusap-usap rambut cucunya. Kasihan melihat cucu-cucuku ini ditinggal ayahnya. Katanya mau pergi hanya sebulan, sampai sekarang batang hidungnya tak muncul-muncul. Sepeti meninggalkan kotoran saja, tak mau menengok lagi Raut mukanya kini berubah. Dahinya mengerut.
Begini pak, kami ke sini untuk mengantarkan titipan Pak Agus. bapak mengeluarkan amplop yang berisi uang dari dalam kantong dan menyerahkannya.
Laki-laki yang rambutnya sudah banyak memutih itu manggut-manggut lalu memanggil Diyah. Diyah keluar membawa tiga gelas teh yang dihidangkan untuk kami.
Ini ada kiriman uang dari suamimu. Setelah lelah berharap kabar dari suamimu, akhirnya datang juga. Simpanlah baik-baik dan pakai seperlunya.
Diyah mengangguk kecil. Bibirnya mengulum senyum yang ditahan. Selama ini, hampir tak pernah kulihat ekspresi lain selain senyum pada perempuan ini. Dia hanya memanggil anaknya kalau terlihat mengganggu suaminya yang sedang bekerja. Kalau anaknya tetap tak mau berhenti, dia akan menghampiri dan membawa anaknya menjauh. Tak ada ekspresi marah, kata kasar, apalagi pukulan ke anaknya.
Bapak juga memberikan secarik kertas kepada Diyah. Di sana tertulis nomor HP yang dipakai Pak Agus menghubunginya. Selanjutnya kami semua mengobrol. Diyah bercerita pengalamannya belajar berjualan di pasar desa tetangga untuk menghidupi keluarganya. Setelah mengobrol beberapa lama, kami pamit.
***
Ibu menghidangkan makanan untuk kami. Silahkan mas, kita makan dulu. Bapak mempersilahkan Pak Agus menyantap nasi dengan lauk pelecing kangkung dan tahu tempe.
Kami makan sambil mendengarkan cerita Pak Agus. Dia telah telah mendapatkan pekerjaan tetap.
Pak guru, saya ndak berani kalau datang sendiri. Saya pergi tanpa kabar terlalu lama.
Bagaimana ceritanya, kok mas menghilang lama sekali?
Saya mencari pekerjaan. Ke sana kemari saya tak menemukannya. Kalau balik ke Lombok saya tak punya bekal. Apalagi kalau harus menjemput anak istri. Sebenarnya saya ingin berkirim kabar, tetapi semua nomor HP hilang.
Saya sudah mendapatkan pekerjaan di pabrik roti, pak guru. Ini rotinya.
Alhamdulillah. Syukurlah, mas. Setelah makan kita langsung menjemput mereka.
Meskipun terlambat. Aku juga merasa senang. Yang disangkakan orang ternyata salah. Semoga saja nanti mereka mendapat kehidupan yang lebih baik di sana.

Hilal

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar