Sebuah tenda kecil telah disiapkan
di dalam kebun itu. Seminggu yang lalu dia dipanggil kakeknya untuk menuliskan
puluhan mantra yang selanjutnya harus dihafalkan. Dia kira ini hanya akan
sebatas dongeng, ternyata dia harus menginap di sini malam ini sampai bulan
purnama.
Kakeknya senang bercerita tentang
masa mudanya, pekerjaannya dulu, teman-temannya, desanya, kebiasaan
orang-orangnya, termasuk cerita jatuh cintanya. Sebab itu teman-temannya sering
ngumpul di rumahnya. Mereka tahan duduk di berugaq sampai larut malam. Mereka
tertawa mendengar cerita orang-orang desa yang berkerumun demi melihat ada
mobil yang masuk desa. Mata mereka tak berkedip, dahinya sampai berkerut ketika
mendengar cerita keangkeran kebun yang berada di dekat kuburan. Meskipun sering
nongkrong ke rumah, mereka tak merepotkan. Mereka selalu membawa kopi sendiri,
kadang-kadang membawa ayam, bebek, belut, atau anak merpati untuk santapan
tengah malam ketika perut sudah mulai terasa panas.
Suatu malam kakek bertanya tentang kemana kami akan
melanjutkan pendidikan. Beberapa temanku akan pergi merantau menjadi TKI ke
Malaysia, sedangkan aku dan tamnku, Adi akan melanjutkan kuliah di Mataram. “Kalian
jangan sampai terjebak ke pergaulan yang tidak benar. Bagus saqm gaweq, bagus
saqm dait. Bayoq saqm gaweq, bayoq saqm dait. Itulah yang harus kalian ingat. Baik
yang kalian kerjakan, baik pula yang akan kalian tuai. Buruk yang kalian kerjakan buruk pula yang akan kalian tuai.”
Itulah pesan kakeknya.
Malam berikutnya kakeknya sengaja
tak keluar. Sehabis solat isya lampu rumahnya langsung dimatikan. “Malam ini
tak usah keluar menemui teman-temanmu. Ada sesuatu yang ingin kuberitahu.” Dia ingin
membicarakan sesuatu yang rahasia dengan cucunya.
“sekarang dirimu sudah cukup besar
untuk mempelajari ini. Sebentar lagi kamu akan masuk Perguruan tinggi. Berarti
kamu akan tinggal sendiri. Saya ingin kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu
gunakan untuk menjaga diri.”
Malam itu dia disuruh mencatat tiap
mantra yang diucapkan kakeknya dengan huruf alfabet. Beberapa kali dia harus
memastikan pengucapannya agar tak salah. Kakeknya jugamenjelaskan ritual-ritual
yang akan dijalani untuk mendapatkan khasiatnya. Dia sering mendengar cerita
dari orang-oarang yang pernah melakukannya. Ujian ketika tengah malam didatangi
ular besar yang tiba-tiba sudah menjadi bantal tidur dan yang paling mengerikan
ada yang sampai lengannya di tebas dengan berang untuk menguji kematangan
ilmunya. Dan dia akan menjalaninya minggu depan.
Kebun ini dikelilingi rumpun bambu
kecuali di bagian depan yang dipagari dengan barisan pohon maja. Gerbangnya
dari pagar anyaman bilah bambu yang tebal. Di atasnya tersmpir sepotong janur
yang masih ada pelepahnya sebagai penanda bahwa orang-orang tidak boleh memasukinya
karena ada orang di dalam yang sedang melakukan ritual ngerem. Ada pohon kelapa
yang tinggi-tinggi berdiri dipojok-pojoknya sedangkan kelapa-kelapa kecil yang
buahnya berwarna kuning ditanam dekat sumur.
Kumandang azan magrib dari toa
masjid jelas terdengar sampai di tempat ini. Dia bergegas ke sumur yang
letaknya tak jauh dari tenda. Matahari masih menyisakan remang-remang di luar,
tetapi gelap lebih dulu singgah di dalam kebun ini. Meskipun begitu, matanya
masih bisa membedakan benda-benda yang mulai tampak menghitam.
Batu-batu agak besar disusun
melingkar menjadi penanda bahwa tempat tersebut adalah sumur. Beberapa kodok
yang sial mencoba menggapai-gapai dinding sumur. Sepertinya mereka salah
perhitungan ketika melompat. Tak menyangka bahwa dibalik batu yang mereka
lompati ada lubang cukup dalam yang berisi air.
Sebuah timba tertelungkup
menggantung di sebuah batang batang bambu kering yang ditancapkan di tanah.
Timba tersebut dia turankan ke sumur untuk mengambil air wudu. Ketika diangkat
sampai ke atas, sekor katak meliompat keluar. Hal itu membuatnya kaget dan
menumpahkan setengah air dari timba tersebut. Dia berwudu dan kembali lagi ke
tenda untuk menunaikan solat magrib.
Solat magrib telah ditunaikannya. Dia
termenung di bawah terpal coklat yang biasanya untuk menjemur padi ditopang dua
buah tongkat bambu dan diberi beberapa patok. Tanggal tiga belas seharusnya
masih ada cahaya remang bulan, tetapi rerimbunan pohon menghadangnya. Hanya
gelap yang dilihatnya. Dia mencoba mengingat-ngingat pesan dari kakeknya.
Ritual-ritual yang harus dilakukannya. Pantangan-pantangan yang harus dihindari.
Tidak boleh keluar tenda kecuali
untuk mandi dan wudu, harus tahan terhadap ujian yang akan datang; tidak boleh
makan kecuali dengan bekal yang diantarkan oleh orang yang diutus di sore hari;
tidak boleh berbicara dengan oang lain mekipun dengan orang yang mengantar
bekal tersebut, dia cukup memberikan isyarat suara dengan memukul wadah makanan
dan menaruh bekal tersebut di depan tenda. Dia merasa ini semua lebih kejam
dari penjara.
Mantra-mantra yang diberikan
kakeknya sebisanya harus dilafalkan berulang-ulang setiap waktu. Sehabis solat,
ketika duduk-duduk, terutama sehabis mandi tengah malam. Ia mulai mengucapkan satu
demi satu. Lama-lama dia bosan. Dia tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam
bacaan-bacaan tersebut. Dia ganti dengan bacaan zikir. Tak ada hal lain yang
bisa dilakukannya sampai waktu isa masuk. Dengan senter dia menuju sumur untuk
mengambil air wudu lalu salat di tenda.
Kembali ia melafalkan mantra-mantara
sambil mengingat khasiat tiap mantra. Dia merasa konyol. Pertanyaan-pertanyaan mulai
menyerbu otaknya. Apa maksud kata-kata yang diucapkannya? Kenapa bisa mendatangkan
kesaktian? Apakah bacaan ini untuk membangkitkan energy dalam tubuh atau ada
kekuatan lain yang menempel ditubuh sebagai benteng? Ia kembali berzikir. Keadaan
sekeliling yang gelap membuatnya cepat mengantuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar