Araq kesah. Dahulu ada seorng
Tuan Guru Besar. Namanya sudah tersohor dan sering diundang kemana-mana untuk berceramah.
Karena sudah lanjut usia, beliau merasa sudah tidak kuat untuk melakukan
perjalnan. Selanjutnya beliau mengutarakan kepada murid-muridnya bahwa beliau ingin
menyampaikan ceramah yang terakhir.
Mendengar maksud sang guru,
buru-buru semua muridnya mempersiapkan acara tersebut. Acara akan dilaksanakan
di lapangan terluas didaerah itu. Taring,
semacam terob yang terbuat dari kayu dengan atap pelepah kelapa didirikan
sehamparan lapangan. Sebuah tenda megah juga berdiri di bagian muka. Persiapan benar-benar
dilakukan dengan maksimal mengingat ini adalah ceramah terakhir yang akan
disampaikan tuan guru. Pasti banyak orang yang tak mau melewatkan peristiwa ini
dan akan menghadirinya, dari dalam dan luar daerah.
Hari yang ditunggu-tunggu pun
tiba. Semua orang yang hadir sudah rapi duduk bersila di depan panggung siap menyimak
pesan-pesan dari tuan guru. Jama’ah laki-laki mengenakan baju koko dan sarung
lengkap dengan kopiah hitam. Ada juga yang berkopiah putih, yaitu bapak-bapak
yang sudah berangkat haji. Jama’ah perempuan mengenakan baju muslimah dengan
jilbab yang berwarna-warni. Lantunan solawat yang dipimpin oleh murid-murid
tuan guru menggema diikuti oleh para jama’ah.
Beberapa saat kemudian tuan guru didampingi
muridnya menaiki panggung. Para jama’ah hening. Mereka mungkin sudah penasaran dan
tak ingin melewatkan satu kata pun petuah dari tuan guru. Tuan guru mendeham
lalu mengucapkan salam. Jama’ah serempak menjawab salam. Setelah mengucapkan
pujian kepada Allah dan solawat kepada Rasulullah, tuan guru melanjutkan, “Jama’ah
sekalian ada satu hal yang harus kita semua ingat, ‘Bagus saqm gaweq, bagus saqm
dait. Bayoq saqm gaweq, bayoq sakm dait-Bagus yang kalian kerjakan, bagus pula
yang akan kalian tuai. Buruk yang kalian kerjakan, buruk pula yang akan kalian
tuai.’ Demikan nasehat saya. Wassalamu’alaikum Warahamatullahi Wabarokatuh.” Tuan
guru lalu kembali turun diikuti oleh murid-muridnya. Hanya itulah pesan di
ceramah terakhir tuan guru. Jama’ah menjawab salam dengan lirih sambil terpana oleh
wasiat di ceramah terakhir tuan guru.
Cerita ini diceritakan oleh bapak
ketika menunggu listrik kembali menyala. Momen listrik padam di malam hari mungkin
akan membuat jengkel sebagian orang, tetapi bagi kami, tidak selamanya seperti
itu. Mati lampu setelah solat magrib adalah momen bertukar cerita. Secara
bergilir kami bercerita sambil menunggu waktu isa.
Ada yang pernah dengar kisah ini?
Mungkin teman-teman di Lombok sudah banyak mendengar cerita ini dengan sedikit redaksi
yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar